Bagaimana Mengajarkan Sains di Sekolah Dasar?

Standar

Pembaca yang baiks, mohon maaf sudah lama tidak update informasi, hehe. Harap maklum, minggu-minggu ini sedang sibuk mempersiapkan lomba gugus tingkat provinsi. Dalam kurun waktu 3 minggu ini (minggu ke 1 sampai ke 3 bulan November), saya di kelas 2A MIM Karanganyar melaksanakan dua kegiatan sains yang menurut saya patut untuk di share. Yang pertama adalah percobaan tentang tempat hidup hewan dan yang kedua tentang manfaat tumbuhan disekitar kita.

Pada kegiatan yang pertama saya meminta siswa membawa ikan dan garam dari rumah. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui tempat hidup hewan (dalam hal ini adalah ikan). Pertama-tama saya meminta siswa mengamati perilaku ikan yang dibawa (bagaimana cara ikan itu berenang, bagaimana frekuensi ikan itu membuka mulutnya, dll) dan menulisnya di lembar pengamatan. Kemudian saya meminta siswa menaburkan garam sedikit demi sedikit ke dalam air. Siswa saya minta untuk mengamati perilaku ikan setelah air diberi garam. Selanjutnya kami laksanakan diskusi.

Kegiatan yang kedua adalah mengidentifikasi tanaman obat beserta kegunaannya. Pada kegiatan yang kedua ini, saya meminta siswa membawa satu paket bumbu dapur (jahe, sereh, kunyit, lengkuas, dll) dan menanyakan manfaat masing-masing bahan kepada orang tua mereka. Sesampainya di sekolah saya meminta siswa melengkapi lembar kerja yang berisi kolom: nama bahan, manfaat dan potongan bahan.

Dua kegiatan diatas saya laksanakan pada saat mata pelajaran sains. Sebenarnya bagaimana mengajarkan sains di sekolah dasar?

Pembelajaran IPA sebagai media pengembangan potensi siswa sekolah dasar didasarkan pada karakteristik psikologis anak; memberikan kesenangan bermain dan kepuasan intelektual bagi mereka dalam membongkar misteri, seluk beluk dan teka-teki fenomena alam di sekitar dirinya; mengembangkan potensi saintist yang terdapat dalam dirinya; memperbaiki konsepsi mereka yang masih keliru tentang fenomena alam; sambil membekali keterampilan dan membangun konsep-konsep baru yang harus dikuasainya. Selain itu penilaian dalam pengajaran IPA dilakukan dengan menggunakan system penilaian (asesmen) yang adil, proporsional, transparan, dan komprehensif bagi setiap aspek proses dan hasil belajar siswa. Berdasarkan jenjang dan karakteristik perkembangan intelektual anak seusia siswa SD maka penyajian konsep dan keterampilan dalam pembelajaran IPA harus dimulai dari nyata (konkrit) ke abstrak; dari mudah ke sukar; dari sederhana ke rumit, dan dari dekat ke jauh. Dengan kata lain, dimulai dari apa yang ada pada/di sekitar siswa dan yang dikenal, diminati serta diperlukan siswa. Secara psikologis, anak usia sekolah dasar berada dalam dunia bermain. Tugas guru adalah menciptakan dan mengoptimalkan suasana bermain tersebut dalam kelas sehingga menjadi media yang efektif untuk membelajarkan siswa dalam IPA. Sesekali tidak boleh terjadi, pembelajaran IPA di sekolah dasar justru mengabaikan (apalagi menghilangkan) dunia bermain anak. Pembelajaran IPA akan berlangsung efektif jika kegiatan belajar mengajarnya mampu mencitrakan kepada siswa bahwa kelas adalah tempat untuk bermain, aman dari segala bentuk ancaman dan hambatan psikologis, serta memfasilitasi siswa untuk secara lugas mengemukakan dan mencobakan ide-idenya.

Bobbi dePorter dalam Quantum Learning, (1999:22-24) menginformasikan kepada kita tentang pentingnya menciptakan suasana kelas sebagai tempat ‘bermain sambil belajar’ yang aman dari caci maki dan ancaman serta bermakna bagi siswa. “Marilah kita mencermati beberapa tonggak belajar pada usia awal seorang anak yang normal dan sehat. Boleh jadi anak ini sangat mirip dengan kita dahulu. Saat kitaa merayakan ulang tahun pertama, mungkin kita telah belajar berjalan, suatu proses yang rumit baik secara fisik maupun mental yang hampir-hampir mustahil dapat dijelaskan dengan kata-kata atau diajarkan tanpa mendemonstrasikannya. Meskipun demikian, kita dapat melakukannya walau dengan berkali-kali tersandung dan terjatuh. Mengapa demikian?

Saya yakin, sebagai orang dewasa, kita dapat mengingat dan membandingkannya dengan beberapa kasus ketika kita menyerah mempelajari sesuatu yang baru setelah gagal satu atau dua kali. Jadi, mengapa justru pada saat kanak-kanak kita mencoba dan mencoba lagi ketika kita sedang belajar-berjalan? Jawabannya adalah, bahwa kita tidak mengenal konsep mengenai kegagalan. Untuk membantu, orangtua kita meyakinkan betul bahwa kita bisa melakukannya jika terus menerus berusaha dan mereka selalu mendampingi kita untuk mendorong kita. Setiap keberhasilan diakhiri dengan kegembiraan dan tepukan, yang memompa diri kita untuk lebih berhasil, hingga pada usia enam atau tujuh tahun, kita menjalani apa yang oleh para pakar pendidikan dianggap sebagai tugas belajar tersulit yang dapat dilakukan oleh manusia – kita belajar membaca!. Semua itu dapat kita jalani dengan relatif tidak ada kendala. Lalu pada suatu hari, mungkin ketika di kelas satu atau kelas dua, kita duduk di kelas dan guru berkata, “Siapa yang dapat menjawab pertanyaan ini?”, kita mengacungkan tangan sambil bergeser ke ujung tempat duduk kita dengan bersemangat hingga guru memanggil nama kita. Dengan penuh keyakinan kita menjawabnya. Lalu Kita mendengar beberapa anak tertawa dan guru berkata, “Tidak, itu salah! Saya heran kamu berani tergesa-gesa menjawab!”, kita merasa malu sekali di hadapan teman-teman dan guru, yang merupakan salah seorang tokoh penting dalam hidup kita saat itu. Keyakinan kita terguncang, dan benih-benih keraguan mulai tersemai dalam jiwa kita. Bagi banyak orang, inilah awal terbentuknya citra negatif diri. Sejak saat itu, belajar menjadi tugas berat”.

Jack Canfield (1982) dalam Quantum Learning, melaporkan hasil penelitiannya di sejumlah sekolah dasar di USA bahwa setiap anak dalam seharir ata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif atau yang bersifat mendukung. Komentar negatif enam kali lebih banyak dibandingkan komentar positif!

Sangat disayangkan! Berdasarkan hasil survey dan penelitian penulis di sejumlah sekolah dasar, pembelajaran IPA di sekolah dasar tradisional telah mengalih kanak-kanak dari pendekatan “global learning” yang menyenangkan dan holistik menjadi pendekatan kaku, linear, dan verbalistis. Masih sering terjadi, dalam pembelajaran IPA guru mengharapkan siswa diam dengan sikap duduk tegak dan bersidekaptangan, dalam deretan bangku-bangku yang berjajar menghadap ke depan, sementara guru dengan fasih menceramahkan materi IPA. Hilang sudah kinerja saintis anak yang begitu cekatan mengobservasi dan memperlakukan benda-benda apa saja yang ada di sekitarnya. Pembelajaran IPA yang demikian, jelas sangat bertentangan dengan hakikat anak dan pendidikan IPA itu sendiri. Disamping pemahaman dan pengimplementasian karakteristik psikologis siswa pada pembelajaran IPA, kejelasan wawasan guru tentang ruang lingkup IPA juga sangat menentukan kualitas pengajaran IPA di sekolah dasar. Menurut Connor (dalam Rowe, M.B., 1990:6) cakupan pendidikan IPA untuk pendidik kita sebaiknya berorientasi pada empat hal: (1) Personal needs, menyiapkan individu yang mampu menggunakan IPA bagi peningkatan tarap hidup dan menghadapi perkembangan teknologi; (2) Social Issues, menanamkan tanggung jawab terhadap isu-isu sosial yang berkaitan dengan IPA; (3) Career Education Awareness, menanamkan kesadaran akan sifat dan ruang lingkup IPA yang berhubungan dengan pengembangkan bakat dan minat; (4) Academic Preparation, memberi landasan bagi siswa yang akan mendalami IPA secara akademik dan profesional.

Connor (1990:7) berkesimpulan bahwa pendidikan IPA untuk sekolah dasar harus secara konsisten berorientasi pada: (1) pengembangan keterampilan proses, (2) pengembangan konsep, (3) aplikasi, dan (4) isu sosial yang berdasar pada sains. Sedangkan Carin & Sund (1989:16) memberikan arahan bagaimana semestinya IPA diajarkan pada pendidikan dasar, yaitu: (1) menyiapkan siswa agar dapat menggunakan IPA dan teknologi dalam memahami dan memperbaiki kehidupan sehari-hari, (2) menyiapkan siswa agar dapat menggunakan IPA dan teknologi dalam menghadapi isu-isu sosial yang berhubungan dengan IPA, (3) menanamkan ke dalam diri siswa keingintahuan akan alam sekitar, serta dapat memahami penjelasan-penjelasan ilmiah tentang fenomena alam, (4) menanamkan kesadaran dan pengertian akan hakikat IPA sebagai program internasional, (5) menanamkan pengertian akan adanya hubungan yang erat antara IPA dan teknologi. Hal lain yang juga penting disadari oleh para guru adalah bahwa pendidikan IPA di sekolah dasar tidak boleh lepas dari pendidikan teknologi. Jika pendidikan IPA terutama ditujukan untuk mendorong siswa agar mampu menjelaskan hasil observasi mengenai lingkungan sekitar; maka pendidikan teknologi bertujuan untuk memberi siswa cara-cara memberi nilai tambah terhadap benda yang di lingkungan serta cara-cara berurusan dengan kehidupan modern yang kompleks. Keberhasilan menghubungkan pendidikan IPA dengan pendidikan teknologi dapat meningkatkan dan mengembangkan proses berpikir yang meliputi keterampilan mengumpulkan informasi, memecahkan masalah, serta mengambil keputusan (Horsley,1990). Sehubungan dengan keterkaitan antara pendidikan IPA, teknologi lingkungan, dan masyarakat (salingtemas), Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sains Kurikulum 2004 menjelaskan: Sains terdapat di dalam teknologi, lingkungan dan masyarakat. Sains diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan.

Penerapan sains perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan. Penekanan pembelajaran salingtemas diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalaui penerapan konsep sains dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana. Sub aspek salingtemas yang perlu dipelajari siswa adalah: (1) mengidentifikasi kebutuhan dan kesempatan, (2) merancang dan membuat produk teknologi berdasarkan ciri-ciri makhluk hidup, sifat dan struktur benda, konsep gaya beserta karakteristiknya, dan perubahan yang terjadi pada bumi dan sistem tatasurya, dan (3) memperbaiki produk teknologi yang ramah lingkungan dan masyarakat. Literasi sains dan teknologi serta peran keduanya dalam lingkungan dan masyarakat sangat penting dan mendesak untuk diperkenalkan sejak tingkat pendidikan dasar agar peserta didik terbiasa untuk cepat tanggap terhadap situasi lingkungan dan masyarakat serta terampil menyelesaikan masalah dengan menggunakan konsep-konsep yang telah dipelajari melalui pendidikan. Untuk itu dituntut kemampuan guru dalam mengemas pembelajaran IPA sehingga membentuk konfigurasi yang bermakna yang mengkaitkan antara materi IPA, keterampilan teknologi dan isu-isu ilmiah yang berada di lingkungan masyarakat. Pada buku Pedoman Belajar Mengajar Sekolah Dasar dicantumkan enam prinsip (azas) pengembangan dan operasional pembelajaran bagi para guru SD. Prinsip-prinsip tersebut adalah: (1) Mengacu pada tujuan, yang harus relevan antara tujuan kurikuler, tujuan instruksional dan pelaksanaan pembelajaran; (2) Keluwesan, dalam hal penyesuaian waktu, penggunaan pendekatan dan metode mengajar, penggunaan sarana dan sumber belajar, dan urutan bahan pelajaran. (3) Kesesuaian, dalam hal tingkat usia, tingkat pemahaman, dan keadaan daerah siswa; (4) Keseimbangan, antara bahan pelajaran teoritis dan kegiatan-kegiatan nyata serta pengembangan sikap dan nilai, (5) Kesinambungan bahan pelajaran, baik antar tingkat/kelas di sekolah dasar maupun antara, (6) Belajar aktif dan koperatif baik secara mental, fisik, maupun sosial. Guru pengajar IPA yang amanah dan profesional dituntut untuk mampu mengelaborasi keenam prinsip di atas dalam kegiatan belajar mengajar IPA di kelas. Tujuan pembelajaran yang disusun, metode yang dipilih, materi pelajaran dan strategi pembelajaran yang dikembangkan, serta evaluasi yang digunakan, satusama lain harus saling bertautan dengan serta bersumber dari Kompetensi Umum, Kompetensi Dasar, Materi Pokok dan Indikator Pencapaian Hasil Belajar sebagaimana tercantum pada kurikulum Mata Pelajaran Sains sekolah dasar. Sebagai contoh, jika dalam kurikulum tertulis Kompetensi Dasar: mengidentifikasi ciri-ciri umum makhluk hidup dan kebutuhannya, maka tujuan pembelajaran yang dirumuskan harus menggambarkan aktifitas siswa melakukan pengidentifikasian ciri-ciri mahkluk hidup dan kebutuhannya. Misalnya, menunjukkan ciri-ciri makhluk hidup dan makhluk tak hidup, mengklasifikasi jenis makhluk hidup berdasarkan cirinya, dan menyelidiki kebutuhan dan cara hidup jenis-jenis hewan dan tumbuhan dalam mempertahankan hidupnya. Metode yang harus digunakan guru dalam pembelajaran topik tersebut adalah metode eksperimen, sedangkan evaluasi hasil belajar di samping menggunakan tes penguasaan konsep, semestinya juga disertai dengan penilaian kinerja (assessment performance) terhadap proses dan produk kegiatan praktikum yang dilakukan siswa. Semoga tulisan ini bermanfaat, selamat mencoba. Tulisan ini disarikan dari “klik disini“.

Tinggalkan komentar